Kamis, 15 Oktober 2009

Penangkaran Satwa Langka





PENANGKARAN sering menjadi alternatif yang ditawarkan bila ada satwa yang dianggap hampir punah. Namun menangkar satwa bukanlah hal yang mudah, apalagi bila satwanya masih amat liar. Selain tiap jenis binatang punya kebiasaan yang berbeda, ada tiga hal utama yang harus diperhatikan yaitu makanan, habitat, dan sarang- terutama untuk burung-agar mereka bisa berbiak secara alami.

TIDAK heran bila pada awalnya penangkaran hanya dilakukan oleh badan-badan resmi pemerintah. Namun, seiring dengan berkembangnya waktu dan meluasnya pengetahuan di masyarakat serta minat sejumlah orang untuk menangkar satwa langka, pemerintah akhirnya mengizinkan pihak swasta atau perseorangan melakukan penangkaran.

Menurut Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati (KKH) Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan Ir Adi Susmianto, "Pada dasarnya penangkar ada dua kategori yaitu untuk non-komersial dan penangkar untuk komersial."

Ada yang tujuannya untuk recovery jenis binatang di habitat alam. Misalnya untuk jalak bali (Leucopsar rothschildii) yang endemik di hutan Bali Barat. Dengan penangkaran, diharapkan populasi di alam pulih kembali.

Menangkar untuk tujuan komersial bukan berarti lepas dari pengawasan pemerintah. "Petugas sangat ketat mengawasi catatan kami. Berapa yang lahir, berapa yang dikirim ke luar negeri, ke mana saja, dan lain-lain. Semua harus dilaporkan," ujar Direktur Kedua dari PT Anak Burung Tropikana yang berada di Singapadu, Kabupaten Gianyar, Bali, Don Wells, yang menjadi salah satu contoh penangkaran yang dikunjungi kelompok Lokakarya Pengendalian Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar, Selasa (22/4).

Sedangkan untuk penangkaran recovery, masalahnya adalah tidak mudah mengembalikan satwa hasil penangkaran ke alam. Soalnya perlu diyakini bahwa satwa tersebut masih merupakan "keturunan murni"-maksimal keturunan ketiga (F3) dari satwa yang hidup di habitatnya (F0).

"Karena itu, kami mendorong penangkaran komersial agar mereka memperjualbelikan hasil penangkaran, tidak lagi menangkap yang hidup di alam," ujar Susmianto.

Menurut Wells, melepaskan burung hasil tangkaran di alam juga tidak mudah. Mereka biasa diberi makan, biasa di tempat yang terlindung. Biasanya dalam berapa hari, mereka akan kembali ke kandangnya semula.

Beratnya persyaratan untuk recovery di alam membuat penangkaran untuk tujuan ini amat terbatas. Misalnya penangkaran harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) hanya diserahkan ke Taman Safari di Cisarua, sedangkan jalak bali yang endemik di hutan Bali Barat, penangkarannya diserahkan ke Taman Nasional Bali Barat (TNBB) yang telah beberapa kali melakukan pelepasan hasil penangkaran ke habitatnya.

PEMERINTAH dalam hal ini Dirjen PHKA sedang menggodok peraturan agar masyarakat dapat melakukan penangkaran skala kecil, dalam arti hanya memelihara dua atau tiga pasang satwa.
Meski demikian, persyaratan secara umum juga tidak mudah. Selain harus memenuhi berbagai persyaratan administratif dibutuhkan pula pengetahuan tentang kehidupan satwa di alam. Biaya yang pasti tidak sedikit-karena menyangkut "modal" untuk makanan, perawatan kesehatan satwa, dan proses pembiakan yang aman-menjadi kendala yang lain lagi.

Menurut Wells, memahami perilaku hewan di alam juga tidak cukup dengan membaca buku saja. "Perilaku itu bahkan bisa berbeda untuk setiap individu," tutur Wells yang sudah lebih 35 tahun menggeluti pembiakan burung.

Mereka mengingatkan para calon penangkar untuk memiliki kecintaan kepada satwa dan burung karena semua harus dilakukan dengan penuh kesabaran. Tanpa itu semua, niat menangkar lebih baik dilupakan.
PT Anak Burung Tropikana sendiri berdiri sejak tahun 1996. Namun, baru tahun 1999 bisa mengekspor 50 spesies. "Sebenarnya ini meneruskan dari perusahaan lama yang berdiri sejak tahun 1984. Namun, dibutuhkan waktu amat panjang sampai kami bisa mengekspor hasil tangkaran," kata Wells.

Ekspor pertama mulai tahun 1992. "Selama delapan tahun kami lakukan banyak persiapan dan percobaan," ujar Delano Ruess, pemilik dan direktur PT Anak Burung Tropikana.

Di tempat ini ada 67 jenis spesies burung dibiakkan yang meliputi jenis-jenis bayan, nuri, kakatua, dan kasturi. Mereka diekspor ke mancanegara yaitu ke Meksiko, Austria, Jerman, Afrika Selatan, Ceko, Malaysia, dan Jepang.

Selain ancaman penyakit dan ular sebagai predator burung, aturan perdagangan internasional ternyata juga jadi ganjalan. Meski sudah merupakan hasil penangkaran, beberapa negara menolak perdagangan jenis-jenis satwa yang masuk dalam daftar CITES (Konvensi Perdagangan Internasional Flora dan Fauna Langka). Salah satunya adalah Amerika Serikat yang akan segera diikuti negara-negara Eropa.

Kawasan penangkaran milik Rues luasnya sekitar 3.000 meter persegi. Tidak heran bila untuk makanan saja, dibutuhkan dana dan tenaga kerja yang berkualitas. Makanan impor yang sudah pasti tidak murah dicampur dengan makanan tambahan dengan takaran yang pas, tidak terlalu encer atau terlalu kental, yang digunakan untuk menyuapi bayi-bayi burung 6-7 kali sehari.

Mesin penetas juga menjadi peralatan vital jika ingin produktivitas burung tinggi. "Kalau dibiarkan mengerami sendiri telurnya, burung nuri hanya bertelur setiap enam minggu. Namun, begitu diambil telurnya mereka langsung bisa bertelur lagi," ujar Wells.
Anak-anak burung lalu ditempatkan di tempat-tempat khusus untuk membesarkan mereka hingga usia tertentu.

Untuk menjaga kebersihan kandang, perlu modal untuk membangun kandang-kandang yang mudah dibersihkan. Belum lagi bentuk dan ukuran kandang yang sesuai dengan perilaku burung. "Kakatua misalnya, tidak mau berbiak kalau tidak memiliki privasi. Jadi kami harus menutup separuh kandangnya dengan tripleks," ujar Wells.

Lain lagi halnya dengan kakatua raja dan kasturi raja yang ternyata membutuhkan pokok pohon (log) berlubang untuk mereka bersarang di dalamnya. Kalau mau berbiak, yang betina sering bersembunyi di dalam lubang dan sibuk membersihkan lubang.

"Kadang dengan melakukan hal-hal kecil, kami bisa membuat mereka lebih produktif. Misalnya dengan memberi secara periodik cabang-cabang pohon segar ke kandang, agar mereka bisa bermain-main dengan cabang pohon. Mereka senang," tutur Wells lagi.

Soal kesehatan tidak ada dokter yang dipekerjakan di sana, namun ada dokter hewan khusus yang sewaktu-waktu bisa dipanggil. Pemeriksaan darah untuk mengetes ada tidaknya virus sering dilakukan, terutama jika ada burung yang baru dibeli. Darah tersebut dites di Afrika Selatan yang hasilnya didapat sekitar dua minggu setelah pengiriman.

Untuk mencegah masuknya penyakit, perusahaan amat ketat menyeleksi pengunjung dan menolak membeli di luar perusahaan pembiakan.

"Banyak yang datang membawa burung tangkapan ke sini. Kami menolaknya,"ujarnya. Kakatua raja di perusahaan itu misalnya, dibeli dari Australia.

JADI memang tidak mudah menjadi penangkar. Apalagi buat mereka yang ingin menangkar demi recovery. Usai menangkar, masih diperlukan usaha tambahan yang tidak mudah : mengajari mereka survive di alam.

Namun, bagi yang berkemampuan secara finansial dan memiliki pengetahuan, peluang untuk menjadi penangkar mungkin perlu dipertimbangkan. Soalnya bukan hanya pencinta satwa Indonesia yang mengharapkan mereka "turun tangan" menyelamatkan kehidupan fauna yang makin terdesak oleh manusia itu, tetapi juga masyarakat dunia. (ISW)

sumber: ceritayunia

0 komentar:

Template by: Abdul Munir
Website: 99computercity